Puisi Cinta Soe Hok Gie

Kamis, Januari 05, 2017

Soe Hok Gie

Bagi sebagian orang, nama Soe Hok Gie mungkin masih asing untuk dicerna telinga. Ya, karena tak ada mata pelajaran di sekolah yang membahas tentang dunianya atau karena mereka terlalu apatis terhadap sejarah. Soe Hok Gie merupakan seorang aktivis berdarah Tionghoa yang dikenal turut menumbangkan Orde Lama pemerintahan Soekarno. Minatnya terhadap sastra cukup besar, juga pengaruh dari ayahnya yang juga seorang penulis. Pada masa mudanya, ia suka membaca karya-karya dari Pramoedya A. Toer. Selain itu, ia juga suka mendaki gunung untuk menenangkan pikiran dari hiruk-pikuk politik pada masanya. Ia juga merupakan mahasiswa dari Universitas Indonesia. Jiwa muda yang merdeka tergambar jelas dari keberanian Soe Hok Gie mengkritik berbagai penyelewengan di berbagai bidang masyarakat, termasuk di kampusnya sendiri.

Meskipun Gie begitu berani menggulingkan tirani, tapi tidak dalam menentukan pujaan hati. Sampai akhir hayatnya, tak ada yang mengetahui sosok kekasih Soe Hok Gie. Gie menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 - tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27- karena menghirup asap beracun.

Meskipun telah tiada karyanya akan selalu melekat pada pergerakan pemuda Indonesia, termasuk puisi di bawah ini. Puisi yang cukup romantis bagi orang awan seperti saya. Puisi yang paling menggambarkan jiwa muda tentang perjuangan dan cinta.

Sebuah Tanya



Akhirnya semua akan tiba,
Pada suatu hari yang biasa,
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih selembut dahulu ?
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap,
Sambil membenarkan letak leher kemejaku,
Kabut tipis pun turun pelan pelan
di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi,
Kau dan aku tegak berdiri,
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram,
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.) 

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu,
Ketika kudekap,
Kau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat,
(lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi,
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya,
Kau dan aku berbicara,
Tanpa kata, tanpa suara,
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita.) 

Apakah kau masih akan berkata.
Kudengar derap jantungmu,
Kita begitu berbeda dalam semua,
Kecuali dalam cinta...
(hari pun menjadi malam,
Kulihat semuanya menjadi muram,
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara,
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti,
Seperti kabut pagi itu.) 

Manisku, aku akan jalan terus,
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan,
Bersama hidup yang begitu biru.

Cinta



Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah,
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza,
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku..
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi. 

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang,
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra,
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku..
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya,
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau. 

Manisku, kemarilah sayangku,
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku,
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung,
Kita tak pernah menanam apa-apa,
Kita tak pernah kehilangan apa-apa.. 

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan,
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda,
Dan yang tersial adalah berumur tua,
Berbahagialah mereka yang mati muda, 

Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada,
Berbahagialah dalam ketiadaanmu..


Hai, makhluk kecil, berbahgialah dalam ketiadaanmu. Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam cinta.

Bacaan Yang Bersangkutan

1 komentar

Tentang Saya


prasetyoga adalah blog yang membahas issue seputar sepakbola, penyampaian opini, cerita pribadi, pelajaran, dll.
Selengkapnya disini.